Walaupun telah lebih dari 3 (Tiga ) tahun ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 diberlakukan, namun pada prakteknya masih ditemukan banyaknya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan ketentuan mengenai pengenaan PPh sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2014 tanggal 17 September 2014.
Beberapa hal yang ditegaskan dalam SE-32/PJ/2014 sehubungan dengan pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
1. Objek Pajak Penghasilan
Penghasilan yang dikenai PPh Final
sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha, kecuali:
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013,
- Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
- Penghasilan yang telah dikenai PPh
yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan tersendiri; dan
- Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan Saat Beroperasi Secara Normal
Penentuan saat beroperasi secara
komersial bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan
kegiatan operasi secara komersial untuk pertama kali. Bagi Wajib Pajak
yang bergerak di sektor:
- Jasa, adalah saat pertama kali
dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat diterima atau diperolehnya
pendapatan/penghasilan; dan/atau
- Dagang dan industri, adalah saat
pertama kali dilakukannya penjualan barang dan/atau saat diterima atau
diperolehnya pendapatan/penghasilan.
Penentuan peredaran bruto untuk
dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak
badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali,
ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) Tahun
Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial. Wajib Pajak badan
yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana disebutkan di atas,
dikenai PPh berdasarkan tarif umum UU PPh sampai dengan jangka waktu 1
(satu) tahun sejak beroperasi secara komersial. Dalam hal jangka waktu 1
(satu) tahun sejak beroperasi secara komersial ini melewati Tahun Pajak
saat beroperasi secara komersial, ketentuan pengenaan PPh berdasarkan
tarif umum UU PPh berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya
setelah Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
Pengenaan PPh yang bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi
secara komersial untuk pertama kali, untuk tahun selanjutnya ditentukan
berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
Contoh 1:
PT ABCD (Wajib Pajak badan) dengan tahun
buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada
tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT
ABCD dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh Tahun Pajak 2013 dan Tahun
Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial 1 Juli 2013
sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan hingga 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada tahun 2015 adalah dengan memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
Contoh 2:
PT CDE (Wajib Pajak badan) dengan tahun
buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada
tanggal 1 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT
CDE dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013
(jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial 1 Januari 2013
sampai dengan 31 Desember 2013).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2013.
Contoh 3:
PT XYZ (Wajib Pajak badan) dengan tahun
buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada
tanggal 2 Januari 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT
XYZ dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan
Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial
2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan sampai
dengan 31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
Contoh 4:
PT KLM (Wajib Pajak badan) dengan tahun
buku sama dengan tahun takwim, baru beroperasi secara komersial pada
tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru beroperasi secara komersial, maka PT
KLM dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan
Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial
1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai dengan
31 Desember 2014).
Untuk pengenaan PPh pada Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
3. Perlakuan PPh Untuk Wajib Pajak dengan Jenis Usaha Tertentu
a. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Badan atau Lembaga Nirlaba Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan
Perlakuan PPh bagi Wajib Pajak badan
atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
bidang penelitian dan pengembangan perlakuannya adalah sebagai berikut.
- Atas sisa lebih yang diterima atau
diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut adalah bukan merupakan
penghasilan yang bukan objek PPh.
- Dalam hal ketentuan persyaratan
penanaman kembali sisa lebih sebagaimana diuraikan di atas tidak
terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek PPh.
Oleh sebab itu, perlakuan perpajakan
bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan adalah mengacu
kepada ketentuan tarif umum PPh.
b. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Reksa Dana
Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan
usaha yang melakukan penghimpunan dana dari masyarakat pemodal, untuk
selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi
yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif sesuai UU
Pasar Modal.
Aliran penghasilan yang diperoleh Wajib
Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang berasal dari
usaha sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh.
Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana memenuhi kriteria PP 46 Tahun
2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai PPh yang bersifat final
sesuai ketentuan PP 46 Tahun 2013.
c. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Bank/Bank Perkreditan Rakyat/Koperasi Simpan Pinjam/Lembaga Pemberi Dana Pinjaman
Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan
rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman yang
memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46
Tahun 2013, maka atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperolehnya dikenai PPh bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran
bruto setiap bulan.
Peredaran bruto yang menjadi dasar
pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi
simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh
penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
- Pendapatan bunga, fee, komisi, dan
seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberi kredit/pinjaman, tidak
termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman,
- Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
Dalam hal Wajib Pajak bank/bank
perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman
tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan
PP 46 Tahun 2013, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak
dikenai PPh berdasarkan tarif umum PPh.
d. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak OPPT)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1
Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria
sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP 46 Tahun 2013, maka
atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperolehnya dikenai PPh
bersifat final sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Bagi Wajib Pajak OPPT yang memiliki
peredaran bruto melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak dan memenuhi
kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan PPh bagi Wajib Pajak
tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum UU PPh dan pembayaran
angsuran PPh mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU PPh yaitu
sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari
masing-masing tempat kegiatan usaha.
e. Perlakuan PPh Bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Wajib Pajak orang pribadi yang
berprofesi sebagai PPAT sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah:
- Mempunyai persamaan kewenangan dengan
Notaris, yaitu merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat
akta otentik tertentu yakni akta yang berkaitan dengan pertanahan; dan
- Dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.
Perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT adalah mengacu pada ketentuan umum UU PPh yang dikenakan tarif PPh umum.
4. Penegasan Mengenai Ketentuan Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Sesuai Ketentuan PP 46 Tahun 2013
a. Ketentuan Penyetoran PPh
Wajib Pajak wajib menyetorkan PPh terutang ke kas negara melalui:
- Kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP;
- Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank
tertentu dimana Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN)
dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaa Negara (NTPN) dalam bentuk
cetakan struk ATM yang kedudukannya disamakan dengan SSP;
paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk setoran PPh Final 1% masa pajak September 2014 disetorkan paling lambat tanggal 15 Oktober 2014.
b. Ketentuan Pelaporan SPT Masa
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib menyampaikan
SPT Masa PPh paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: untuk melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 4 ayat (2) masa pajak September 2014 dilaporkan paling lambat
tanggal 20 Oktober 2014.
Wajib Pajak yang telah melakukan
penyetoran PPh final 1% dan telah mendapatkan validasi NTPN, dianggap
telah menyampaikan/melaporkan SPT Masa PPh, dengan tanggal pelaporan
sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan struk ATM.
Wajib Pajak dengan jumlah PPh Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini.
Ketentuan mengenai pelaporan SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2) ini diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014,
sehingga atas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN)
masa Juli s.d. Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar Rp 100.000 untuk setiap masa pelaporan.
Konsultan Pajak Handal Surabaya
Smart Consultant
Address : JL.Tengger Kandangan VI No.35 Surabaya
Phone : +6289677944878
E-Mail Center: wahyu1.smartconsultant@gmail.com
SMS Center : 089677944878
0 komentar:
Posting Komentar